Siantar — Direktur Studi Otonomi Politik dan Demokrasi (SOPO), Kristian Silitonga, menilai telah terjadi situasi yang sangat memprihatinkan atas kota Pematangsiantar, Sumatera Utara. Saat kota-kota yang lain di provinsi ini kini semakin maju, Siantar justru nyungsep alias ambruk di semua lini.
Realita ini menurutnya sangat ironis. Sebab jika dibandingkan kota-kota lain, Siantar yang sesungguhnya yang paling punya sumberdaya untuk tumbuh lebih maju. Mulai dari hal-hal paling mendasar seperti cuaca yang sejuk, airnya yang jernih, serta letak geografis yang sedari dulu sudah sangat strategis.
“Sekarang malah untuk pembangunan tol Medan – Parapat saja kita seolah-olah terlempar dari skema besarnya, secara gambar kita hanya sebagai daerah yang terlewati, padahal dampak dari jalan tol itu sangat signifikan. Padahal kalau kita lihat secara geografik, ‘Sumatera Timur’ itu sebenarnya episentrumnya ya Siantar,” terang Kristian, Sabtu (11/9).
Kristian melihat Siantar kini telah tertinggal jika dibanding Serdang Bedagai, Tebingtinggi, Binjai, Rantau Prapat, bahkan Humbang Hasundutan dan kota-kota lain.
Ambruknya di segala aspek itu, ia mencontohkan, bisa dilihat dari status kemampuan keuangan Siantar dari kota sedang yang kini turun kelas jadi kota kecil, kemudian dari indeks toleransi yang terjun bebas.
“Kemunduran pada aspek politik dan demokrasi bisa kita lihat di pilkada terakhir cuma menyajikan pasangan calon tunggal. KONI, sekarang seolah hanya sekedar ‘organisasi papan nama’ karena tidak diberi kemampuan dan kewenangan. KNPI lagi, double kepengurusan.
Di soal tata ruang juga makin ruwet. Pembangunan jalan lingkar (outer ring road) saja sampai sekarang tidak selesai, pembangunannya semakin tidak jelas.
Jadi di semua aspek Siantar itu mundur, nyungsep, dan itu sangat menyedihkan karena Siantar berada di wilayah semua sumberdaya yang dibutuhkan untuk maju sebenarnya tersedia,” paparnya.

Lebih lanjut Kristian menilai yang paling bertanggung-jawab nyungsep-nya Siantar saat ini adalah walikota dan wakil walikota, dan juga DPRD Siantar.
“Tanggung jawab terbesar ada di pimpinan, mereka yang kita beri kewenangan dan otoritas kebijakan untuk mengambil langkah-langkah untuk kota ini, walikota dan DPRD-nya. Kalau kita buat hierarki pihak yang paling bertanggung-jawab, mereka yang paling bertanggung jawab.
Ini pemimpin gagal dan gak becus menangkap momen dan peluang-peluang untuk membangun kota ini,” tandasnya. [nda]




















