Aku pernah punya anjing, kuanggap sodara. Sekarang aku sedang punya kucing, kuanggap adik. Tetapi bersikap berapi-api melarang orang-orang memakan kedua jenis binatang itu dengan dalih-yang-dibangun dari landasan bahwa kita adalah pecinta anjing pun kucing, adalah hal yang konyol kurasa.
Bagiku, kalau kamu berapi-api melakukan itu, kamu cuma sedang terjebak pada “level”. Ya, level, semacam isyarat bahwa mungkin tingkat kesejahteraanmu mulai masuk ke tahap oke.
Dalam konstruksi cara berpikir yang dibangun oleh peradaban yang sedang kamu hinggapi, entah kamu sadar entah tidak, setelah sandang panganmu mulai aman-nyaman, kamu akan digiring untuk mencintai hal-hal baru — yang sekaligus bisa membuat kesan (citra)mu akan naik level tentunya.
Nanti, setelah anjing dan kucing, jika tren monetermu menunjukkan grafik menaik, kamu akan menjadi pecinta binatang yang lain lagi. Jadi pecinta jenis binatang lain yang sekaligus akan menunjukkan levelmu/kesejahteraanmu sudah naik kelas lagi. Mungkin kamu akan menjadi pecinta binatang ular dengan menumbalkan kata eksotis. Lalu, nanti naik lagi, bisa ke buaya, singa, atau apalah.
Begitulah. Maksudku, mencintai sesuatu tidak harus membuat orang lain merasa berdosa. Orang-orang di sawah yang jauh dari laut masih menjerat burung untuk dimakan. Apa kabar pecinta burung? Kadang mereka menangkap belut. Uh, betapa rendah kastamu belut. Yang jauh di pedalaman harus beternak dan terkadang terpaksa menyantap salah satu anjingnya.
Dan ikan. Mungkin perspektif tulisan ini salah. Tapi bagaimana pula bila nanti sains menemukan bahwa ikan juga punya hati punya rasa. Punya niat untuk merawat dan melindungi anak-anaknya. Atau jangan-jangan temuan sains itu sudah ada hanya kamu malas saja membaca. Atau bagaimana jika ternyata ada diantara kita yang bisa “berbicara” dengan ikan tapi dia tidak pernah mengaku karna khawatir kamu anggap gila.
Dan, eh, kenapa kamu tidak mencintai semuanya saja?
****
(Penulis adalah warga Siantar pemilik akun Facebook Obeiyel Gabjriel)
Baca juga: