Simalungun — Terjadinya Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (Silpa) pada APBD 2023, menjadi antiklimaks atas opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang sempat didengungkan sebagai pencapaian kepemimpinan RHS. Dan kini, masyarakat semakin jelas memahami bahwa Opini WTP bukanlah indikator keberhasilan.
Jauh-jauh hari sebelumnya, upaya kaum intelektual mengantisipasi perilaku menghiperbola atau mempolitisasi opini WTP ini, sudah banyak dilakukan. Lembaga Transparency International Indonesia (TII) misalnya. Di tahun 2022 lalu, lembaga ini sudah menyatakan bahwa instansi atau sekretariat kantor tertentu, seringkali menyuap untuk memperoleh hasil audit berstatus WTP.
Tidak hanya oleh hal itu, kesadaran masyarakat di Simalungun saat ini juga terdukung oleh tidak diterimanya Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) bupati. Sebab menjadi ada dua hal yang bertentangan di sana. Seperti janji kinerja, yang kemudian dinistakan bahwa itu cuma sekadar gula-gula untuk pengharap semata.
Saat opini WTP ini dihiperbola, ada kejadian yang kontradiktif di sebagian kalangan ASN di Simalungun. Mereka merasa getir. Sebab mereka memahami bahwa opini tersebut hanyalah soal cara penyajian semata. Sementara, bila sungguh ingin bicara keberhasilan, seharusnya yang dibuka adalah indeks kinerja, disertai bukti-bukti nyata yang bisa dilihat dan dirasa, lalu diukur dengan janji-janji kerja.
Dan akhirnya saat ini masyarakat di Simalungun dihadapkan dengan uang sebesar Rp130 miliar yang menjadi Silpa. Bagaimana bisa uang sebesar ini menjadi sisa bila mengaku paham merencanakan dan mengelola? (nda)