Siantar — Ambruknya toleransi di Kota Siantar versi Indeks Kota Toleran (IKT) terbitan Setara Institute 2020, masih menjadi pertanyaan besar masyarakat. Bagaimana tidak, selain masih ranum gestur pemko yang “mengobral” slogan Siantar The Most Tolerance City — pasca IKT 2017 yang mendudukkan Siantar di posisi teratas—, secara umum, Siantar selama ini memang cuma dikenal karena dua hal. Pertama, karena sejuk dari aspek iklim. Terakhir, karena toleran dari aspek sosial.
Berbeda dengan tahun 2018 saat Siantar cuma turun dari posisi teratas, ketika itu, pejabat kota ini masih membusungkan dada mendebat bahwa sesungguhnya Siantar cuma turun satu tingkat. “Sebenarnya Siantar di posisi dua, cuma karna penyusunannya berdasarkan abjad, Siantar jadinya dibuat di bawah kota Salatiga.” Demikian pembelaan penuh percaya diri Walikota Siantar, Hefriansyah, saat menyampaikan kata sambutan di sebuah pelantikan organisasi kepemudaan pada tahun tersebut. Tapi kemudian, ketika Siantar benar-benar musnah dari 10 besar IKT di tahun 2020, tak ada penjelasan publik apapun dari pejabat-pejabat publik yang ada di kota ini.
Sofie M Saragih, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Pemko Siantar yang akhirnya ditemui isiantar.com Rabu 29 September lalu, mengakui bahwa ia sebelumnya tidak mahfum dengan apa metodologi yang digunakan Setara Institute dalam menyusun IKT tersebut. Tapi setelah Siantar benar-benar hilang dari 10 Besar IKT, ia pun mencari tahu indikator-indikator penilaian yang digunakan, dan mencoba menarik korelasinya dengan kondisi aktual Kota Siantar.
Dari delapan indikator penilaian, kata Sofie, kemungkinan ada dua hal yang paling mempengaruhi hilangnya Siantar dari IKT. Yakni indikator Kebijakan Diskriminatif, dan indikator Peristiwa Intoleransi.
Kebijakan Diskriminatif adalah hal yang berkaitan dengan kegiatan lintas agama yang seharusnya diorganisir oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Semisal melakukan kegiatan gotong-royong untuk membersihkan kawasan rumah-rumah ibadah, yang ditujukan demi mempererat kerukunan antar umat beragama.
Hal yang paling signifikan, menurutnya, dari indikator Peristiwa Intoleransi, adalah terjadinya kisruh mempermasalahkan pemulasaraan jenazah Covid di RSUD Djasamen Saragih, dimana ada jenazah perempuan dimandikan oleh petugas laki-laki. Karena hal ini direspons oleh sebagian kelompok masyarakat dengan berunjuk-rasa di pusat kota, dan melabeli pemulasaraan tersebut dengan tuduhan bahwa para petugas laki-laki itu telah melakukan penistaan agama.
“Selanjutnya adanya ‘Peristiwa Intoleransi’. Kalau di kita mungkin yang membuat kita adalah pemulasaraan jenazah Covid yang jenazah seorang perempuan dimandikan oleh petugas laki-laki. Itu kan sempat kita ribut di tanah lapang. (Ini mungkin bagi Setara Institute) dianggap menjadi kasus intoleran. Kita belum bisa pastikan, ini asumsi lah, karena itulah yang saya lihat yang paling prinsipil yang terjadi di tahun 2020,” ujar Sofie.
Sementara mengenai FKUB Kota Siantar dalam kaitannya dengan indikator Kebijakan Diskriminatif, ia menjelaskan, bahwa selain sudah memperoleh anggaran dari Kementerian Agama, Pemko juga turut membantu anggaran untuk FKUB Siantar. Meski diakuinya, anggaran dari Pemko mungkin belum maksimal sebab berkaitan dengan kemampuan keuangan daerah.
“Jadi FKUB itu dari Kementerian Agama dapat, ada dapat anggaran. Jadi itu membantu mereka dalam hal operasional, kalau mereka bilang. Oke, dalam bentuk kegiatannya atau dukungan-dukungan apanya kita fasilitasi, apa yang bisa kami fasilitasi akan kami fasilitasi,” katanya
“Jadi kita selalu membangun Komunikasi dengan FKUB. Apa yang bisa kita kerjakan, apa yang bisa kami bantu, walaupun mereka sudah diberikan anggaran.
Jadi (FKUB) kita dorong, kita bantu. Kita kan mitranya, pembinaannya, kita. Jadi kita selalu ‘coba kita buat yuk turun ke kecamatan, biar lebih seperti apa gitu’. Cuma kan merekalah yang lebih tahu untuk mempergunakan anggarannya, tapi kami pemko pasti mendorong,” jelas perempuan yang memimpin instansi Pemko yang paling berkaitan dengan ranah toleransi ini lebih lanjut.
Untuk diketahui, selain indikator Kebijakan Diskriminatif dan Peristiwa Intoleransi, secara keseluruhan Setara Institute menggunakan delapan indikator lain dalam menyusun IKT.
Kedelapan indikator itu yakni; A) Regulasi Pemerintah Kota [Indikator 1: Rencana pembangunan dalam bentuk RPJMD dan produk hukum pendukung lainnya dan indikator 2: Kebijakan diskriminatif].
B) Tindakan Pemerintah [Indikator 3: Pernyataan pejabat kunci tentang peristiwa intoleransi dan indikator 4: Tindakan nyata terkait peristiwa].
C) Regulasi Sosial [Indikator 5: Peristiwa intoleransi dan indikator 6: Dinamika masyarakat sipil terkait peristiwa intoleransi].
D) Demografi Agama [Indikator 7: Heteregonitas keagamaan penduduk dan indikator 8: Inklusi sosial keagamaan].
Sebagaimana sebagian besar masyarakat Siantar, Sofie juga tidak mau jika Kota Siantar dikatakan sudah tidak toleran. Siantar masih toleran. Tapi ia mengakui bahwa Pemko Siantar memiliki kekurangan-kekurangan dalam bersaing dengan kota-kota lain untuk memenuhi indikator-indikator tersebut.
Sayangnya, hingga berita ini ditayangkan, Ketua FKUB kota Siantar belum juga berhasil dimintai tanggapan dan pandangannya atas hilangnya Siantar dari 10 Besar Indeks Kota Toleran. [nda]